Film Bumi Manusia; Untuk Memuaskan Dahaga Sejarah atau Dahaga Kapital?

 

Ali Akbar Muhammad [Cakrawala Mahasiswa JOGJA]

***

Mendengar kabar bahwa  salah satu karya sastra terbesar Pramoedya Ananta Toer (Pram) ‘Bumi Manusia’ akan di filmkan, sebagai pembaca novel tersebut sekaligus mengagumi penulisnya, saya merasa cukup senang dan bahagia. Minimal karya tersebut akan di saksikan oleh seluruh penikmat film Indonesia meskipun belum atau tidak membaca karyanya. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah film ini kemudian akan membuka mata manusia Indonesia untuk melihat sejarah kelam bangsa ini atau justru film ini hanya untuk akumulasi kapital dan keuntungan saja.

Saya orang yang sangat berterimakasih kepada Pramoedya Ananta Toer karena telah menceritakan sejarah bangsa Indonesia secara mendunia lewat karya sastranya. Dan ini tidak hanya satu kali saja, tetapi banyak. Novel ‘Bumi Manusia’ yang akan di filmkan itu bahkan merupakan salah satu dari Tetralogi Buru; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,  Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Karya – karya ini di tulis Pram ketika menjadi tahanan politik Orde Baru dan saat di buang ke pulau Buru. Pram sendiri dibuang karena sepak terjangnya bersama Lekra (Lembaga Kebudayaan rakyat) yang dianggap sebagai salah satu organisasi underbownya PKI. Dimana, ketika terjadi malapetka tahun 1965 lewat kudeta milleter yang di pimpin oleh Soeharto dengan dukungan Imprealisme, maka seluruh orang yang berafiliasi, terafiliasi atau ‘dianggap’ terhubung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) diburu, ditangkap, dibuang bahkan dibunuh. Dan tak lupa partai dan organisasinya sekalipun dibubarkan dan dicap sebagai partai dan ajaran terlarang – sampai hari ini.

Tapi hingar bingar rencana pembuatan film ini, sedikit menggelitik. Sederhananya, kadang terpikir apa benar karya Pram yang dituding komunis ini benar-benar akan di filmkan. Tapi ternyata hal itu benar. Hanung Bramantyo, sang sutradara berbagai film akan menjadi sutradara pada film Bumi Manusia ini. Cuma, lagi-lagi mampukah Hanung menyajikan narasi sejarah seperti yang ada di novelnya. Karena novel ini tidak sekedar novel tapi bermuatan sejarah bangsa dizaman penjajahan. Makanya tidak gampang untuk mengangkat karya-karya epik kesejarahan. Dan Hanung terkadang lemah dalam mengangkat berbagai cerita sejarah yang dinarasikan ulang dalam film. Seperti Soekarno dan sebagainya yang kesannya kurang gagah bahkan terlihat sangat melankolis. Nah kemudian apakah Bumi Manusia ini akan sama melankolisnya karena ada kisah cinta Minke dan Anelis? Itu yang jadi tantangan.

Bumi manusia adalah salah satu karya pram untuk dunia, yang bercerita tentang fakta- fakta sejarah, tidak saja persoalan cinta antara Minke dan Anellis. Tetapi perlu kita ketahui secara bersama bahwa karya ini juga menceritakan tentang penindasan yang di lakukan oleh kolonialisme serta feodalisme. Serta sosok bapak jurnalis sekaligus seorang manusia Indonesia yang  pertama memunculkan semangat gerakan dan Nation. Dia adalah Tirto Adi Suryo yang di hilangkan dari histografi Indonesia versi orde baru.

Bumi Manusia adalah periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka. Dan disudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban. Ini semua seharusnya dapat perhatian yang lebih sebelum mengangkat karya besar ini ke dalam film dengan aktor-aktor yang berperan. Kesesuaian tema, jalan cerita dan pemilihan aktor seharusnya bisa lebih rigit. Tidak hanya karena paras tampan, akting bagus lalu serta merta bisa jadi pemeran. Harus ada penyaring yang benar-benar menguasai cerita dalam novel tersebut biar jalannya cerita tidak out of the track. Meskipun sang ahli waris telah menyetuji pembuatan film dari karya Pram tersebut.

‘Harapannya film tersebut tidak dibuat asal-asalan’ kata Astuti Ananta Toer, anak ketiga Pram. Harapan itu mungkin mewakili setiap pengagum dan pembaca karya Pram. Karena sudah bukan rahasia lagi kalau Industri Film Indonesia agak alergi dengan genre kritisisme – berwatak kritis. Karena dianggap tidak akan laris seperti film-film percintaan seperti Dilan dan sebagainya. Film epik dituding hanya memuaskan dahaga sejarah tapi tidak dahaga industri untuk keuntungan yang berlipat.

Tapi apapun itu, dengan adanya rencana ini (pembuatan film Bumi Manusia}, semoga bisa membuka wawasan kita tentang kesejarahan bangsa ini, terutama saat zaman ‘tidak enak’ seperti yang dialami oleh Pram saat itu. Karena sejarah bangsa ini perlu dibuka lebar supaya memberikan edukasi kepada kita semua.

 

5 komentar untuk “Film Bumi Manusia; Untuk Memuaskan Dahaga Sejarah atau Dahaga Kapital?”

  1. Pingback: fortnite cheats free

  2. Pingback: โบท็อกราคา

  3. Pingback: gray zone hack

  4. Pingback: เว็บพนัน auto

  5. Pingback: รีวิวเกมของค่ายสล็อตชั้นนำ Play’n GO

Komentar ditutup.

Scroll to Top