HILANGNYA JEJAK REFORMASI DI KAMPUS KITA

 

Aku katakan padamu: orang harus mengandung pergolakan dalam dirinya, untuk melahirkan bintang menari (Nietzsche, Zarathustra)

***

Beruntung saya jadi mahasiswa angkatan 90-an. Itulah masa paling indah dalam kehidupan sebagai mahasiswa. Saat mana kuliah, organisasi dan diskusi jadi kegiatan sehari-hari. Tiap kali kuliah selalu dipacu untuk senang berorganisasi. Sedang pada waktu organisasi dibiasakan untuk berdiskusi. Kampus tak hanya lahan untuk menanam benih anak muda jadi sarjana tapi juga panggung untuk mereka yang punya pikiran beda. Itu sebabnya kampus memacu anak muda tak hanya berprestasi tapi juga berani. Ringkasnya saya selalu meyakini kampus itu bukan pipa penyalur anak muda untuk jadi sarjana dan tenaga kerja!

Kampus saat itu tak semegah seperti sekarang ini. Bangunanya hanya berisi kelas dan halaman parkir saja. Ditambah dengan lab, perpus dan kantin. Tiap saat dosen bisa diskusi, dialog dan debat dengan mahasiswa. Tak banyak kegiatan mereka kecuali mengajar. Sesekali tampil dalam acara seminar dan jarang sekali muncul di televisi. Dosen mirip dengan guru SMA, kita kenal, mudah ditemui dan bisa diajak kesana kemari. Hubungan dosen dengan mahasiswa hangat, erat dan setara. Popularitas dosen bukan hanya karena piawai mengajar tapi bagaimana opininya ditebarkan di mana-mana.

Benih gagasan radikal subur sekali di kampus. Sebab kampus berusaha mempertahankan kebebasan akademiknya: diskusi dilakukan begitu rupa, opini yang melawan ditampung begitu saja dan ide radikal digemari dimana-mana. Kala itu kampus ibarat rumah pergerakan karena membincangkan apa yang dilarang, menghasut pikiran untuk tidak mudah percaya serta mendorong mahasiswa berani menyatakan pandangan. Banyak tokoh-tokoh gerakan dibesarkan idenya karena pertautan dengan ide-ide yang berlangsung di kampus. Itu sebabnya gerakan mahasiswa terus menerus menjadi energi yang memancarkan harapan sekaligus meneguhkan keyakinan.

Tak lama kemudian kampus memang berubah. Saat mana kampus berhasil mendorong lokomotif perubahan. Pintu demokrasi liberal yang dibuka telah menjadikan kampus menjadi institusi pendidikan tinggi yang punya harga. Dimulai dari diajaknya para dosen menjadi petinggi dan perumus perubahan. Tugasnya tak hanya mengajar tapi menjabat pada kekuasaan. Disana mereka kemudian melihat kampus dengan cara baru: tak lagi tempat diolahnya ide-ide radikal tapi lembaga perguruan tinggi yang musti diurus dengan cara profesional. Kata yang paling tepat dan digemari saat itu adalah otonomi. Beri kewenangan kampus sepenuhnya terutama dalam mengatur tata kelolanya.

Kampus merias diri dengan cara baru. Bukan tempat kumuh dimana ide semua berlaga dan dibebaskan mahasiswa untuk protes pada apa saja. Kampus itu harus mampu mengatur dirinya sendiri serta dapat berkompetisi pada tingkat dunia. Kampus dibangun secara fisik dengan cara yang seperti yang ada di bayangan para penguasa modal: fasilitasnya dipercantik, suasananya dibuat lebih elegan dan kelasnya dibuat lebih mewah. Yang dipertahankan bukan kebebasan akademiknya tapi keindahan suasananya. Sebab kampus kini bukan tempat untuk belajar saja tapi kegiatanya layak untuk diperjual-belikan. Dibukalah lahan kampus untuk kegiatan komersial apa saja: gedungnya bisa untuk resepsi, kelasnya dapat disewa untuk diskusi dan dosenya juga bisa jadi tenaga ahli.

Kampus menurunkan derajadnya menjadi tempat jual beli. Implikasi ini penyebabnya bisa ditarik sejauh mungkin: neo liberalisme telah jadi sistem keyakinan yang diakui oleh kampus. Meski pada titik tertentu mungkin inilah kerinduan yang melanda kampus sejak dulu. Keinginan untuk meletakkan pengetahuan itu bersanding dengan modal: ingatan bagaimana kampus di luar negeri mampu bersanding dengan kepentingan industri serta bagaimana dosen disana dapat berkarya tanpa harus merasakan kemiskinan. Idealnya kampus dapat memenuhi hak hidup tenaga pengajarnya sehingga mereka kelak akan cakap memandu pengetahuan serta melahirkan gagasan brillian. Keyakinan naif yang bersandar pada kesadaran buta kalau uang itu sejajar dengan ide brillian.

Tapi kampus terlanjur percaya dan mendapatkan laba atas keyakinan itu semua. Kini saksikan bagaimana borjuasi melanda kehidupan kampus negeri maupun swasta. Tiap kali pendaftaran mahasiswa baru kampus seperti mendapat gelombang pendapatan raksasa yang mampu menggemukkan pundi-pundi orang yang ada di dalamnya. Sistem pembayaran itu tak berhenti hanya pada pendaftaran saja tapi uang yang dinamai UKT, semester, praktikum, KKN hingga wisuda. Semua itu tak punya unsur ‘penipuan’ tapi banyak mengandung ‘pertanyaan’. Wajar jika ada Rektor tertuduh korupsi dan pemilihan Rektor juga sibuk dengan loby-lobby. Seolah kampus telah jadi pipa penyalur kepentingan apa saja.

Rektor telah jadi penguasa pengguna anggaran. Di tanganya kebijakan sepenuhnya dimonopoli. Ada Rektor yang memutuskan untuk memberi gelar Doctor Honoris causa pada deretan penguasa. Juga ada Rektor membimbing desertasi banyak pejabat negara. Bahkan ada Rektor dituduh mahasiswa plagiat karya. Malah ada Rektor yang tak terbatas masa jabatanya. Pada dirinya kampus seperti tongkat ajaib yang bisa memenuhi semua keinginanya. Itu sebabnya di banyak kampus Rektor jadi jabatan yang pantas untuk diperebutkan. Terlebih kuota suara menteri yang besar dan menentukan. Rektor tak mudah untuk mengambil posisi kritis dan independen.

Ironi ini yang membuat kampus membuat aturan yang lucu, aneh bahkan menggelikan. Ada kampus yang ingin mahasiswa untuk berseragam, ada kampus yang melarang mahasiswanya gondrong, ada kampus yang tak memperkenankan mahasiswa demonstrasi, ada kampus yang melarang diskusi buku kiri, ada kampus yang membubarkan acara pemutaran film mahasiswa, ada kampus yang menghukum mahasiswanya hanya karena bertanya tentang kemana aliran uangnya, ada kampus yang melaporkan mahasiswanya sendiri dan ada kampus yang buat pameran Alocita.

Kampus seperti kehilangan pijakan identitas. Memerankan diri sebagai tempat mendidik tapi juga menjual pengetahuan. Ingin mencoba untuk kritis tapi juga melayani kekuatan modal. Tetap berusaha untuk menampung anak-anak muda sambil mengendalikan militansi mereka. Sekaligus ruang dimana negoisasi berbagai kepentingan diakomodasi. Pada situasi itulah kampus melucuti dirinya untuk berhamba pada kepentingan yang berbeda dengan keyakinan pengetahuan: jadi tenaga ahli untuk operasi perusahaan, dosenya jadi saksi ahli untuk para pencuri uang negara, risetnya dimanfaatkan untuk kepentingan pemenuhan laba korporasi dan tempatnya telah jadi bursa untuk lamaran kerja.

Tiba-tiba kampus seperti bursa tenaga kerja. Melayani kepentingan siapapun yang mampu membayarnya: riset, tenaga pemasaran, temuan produk hingga jamaah yang bisa disuruh untuk mengutuk siapa saja. Serupa dengan rumah bordil yang mana semua penghuninya berusaha memuaskan pelanggan yang sanggup membayarnya. Maka wajar jika kualitas pembelajaran kampus makin merosot tapi bayaran kian mahal. Sulit untuk dinalar bagaimana kampus bisa kehilangan aura pembelaan pada yang lemah dan ruang dimana anak-anak muda punya mimpi. Maka itulah yang membuat kita kemudian bertanya: percayakah kita kalau kampus itu memang mengajarkan pengetahuan dalam arti yang sesungguhnya?

 

**

[Disampaikan untuk bahan diskusi di MAP dari Birokratisasi ke Liberalisasi Pendidikan, 25 April 2018 dan diskusi Menggugat Sistem Pendidikan Nasional Mahal dan tidak Demokratis, Gerakan Nasional Pendidikan, 26 April 2018]

Komentar ditutup.

Scroll to Top