Polarisasi Demonstrasi: Antara Kekerasan dan Perdamaian

Oleh Nalar Naluri (Pegiat Social Movement Institute)

Kaulah majikan bagi dirimu sendiri, karena kau terikat dengan Penguasa segala sesuatu (Rumi).

Peristiwa Senayan tengah malam 5/10/2020 akan menjadi satu babak penting bagi sejarah, hukum, politik dan ekonomi bangsa ini. DPR akhirnya mengesahkan Undang-Undang omnibus law Cipta Kerja. UU ini bermasalah dari sisi metodologis, paradigma, substansi, dibuat atas dalih iklim investasi tapi mengabaikan pembangunan berkelanjutan, hyper regulated, dan mengabaikan partisipasi (riset Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada).

Sidang pengambilan keputusan dan pengesahan tersebut memantik kericuhan baik di dalam parlemen sendiri maupun massa di jalanan. Fraksi Partai Demokrat dan fraksi Partai Keadilan Sejahtera melakukan Walk Out. Di beberapa media, pernyataan dua partai ini menolak UU Cipta Kerja dan menyatakan (dengan bahasa politik) permintaan maaf terhadap segenap rakyat Indonesia karena tak punya cukup kekuatan. Esoknya, gerakan jalanan yang terdiri dari: buruh, petani, mahasiswa, pelajar, civil society, dan masyarakat melakukan konsolidasi akbar. Mereka mengorganisir demonstrasi, tersebar di banyak kota, kabupaten, dan daerah. Meski terkesan mendadak, hari berikutnya akhirnya mereka bisa melakukan demonstrasi besar-besaran.

Merebaknya demonstrasi penolakan omnibus law akhir-akhir ini membuat perhatian segenap orang tertuju pada satu kekhawatiran yang sama: kekerasan. Entah itu aparat, masyarakat, pemerintah, kelompok, ormas, demonstran maupun oknum, semuanya berpotensi menciptakan situasi di atas bisa semakin nyata, panjang, runyam, memanfaatkannya, atau malah sebaliknya, menciptakan kedamaian?

Seperti yang mudah kita tebak, dampak dari keributan ini menciptakan kelompok masyarakat yang pro dan kontra. Meski kelompok yang pro omnibus law seringkali mengesampingkan pada substansi tuntutan demonstran. Yang dilihat dari demonstran hanyalah bentrokan, kerusakan, dan tuduhan mudah menelan hoax. Hal ini paling nampak ketika dijalankan di media sosial, kebanyakan dari mereka adalah para nitizen kelas menangah ngehek, buzzer, dan para influencer.

Sebaliknya, pandangan kelompok penolak omnibus law terhadap mereka yang senang melakukan perundungan baik di media sosial seperti nitizen, buzzer, dan influencer ataupun aksi-aksi kekerasan para vigilante di lapangan, sudah kadung putus asa. Seolah keterbelahan ini hakiki. Seolah tak menyisahkan ide-ide, gagasan, dan strategi, menyeret mereka untuk bisa berkolaborasi karena dipersatukan atas dasar adanya keresahan bersama. Pada akhirnya, terciptanya polarisasi masyarakat berujung pada pengasosiasian diri yang kaku, pakem, dan tak terbuka dalam penolakan omnibus law.

Setidaknya ada tiga lembaga besar serikat pekerja yang getol melakukan penolakan omnibus law dan kemudian berbeda jalan. Organisasi tersebut terdiri dari; Kongres Aliansi Serikat Buruh (KASBI), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Dua di antaranya (KSPI dan KSBSI) memilih jalan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Sedang KASBI, melihat ketidakmungkinan kemenangan bisa ditempuh dengan jalur MK, keraguan akan netralitas hakim MK begitu nampak saat parlemen beberapa bulan lalu juga mengesahkan UU MK yang sarat conflict of interest. Sebagaimana UU Cipta Kerja, UU MK juga ditengarai titipan penting dari Presiden Jokowi. KASBI masih memilih perjuangan jalanan untuk menekan Presiden Jokowi agar membatalkan UU omnibus law Cipta Kerja.

Penolakan omnibus law juga mengalami perbedaan sikap, perjuangan dan kepentingan di tataran ormas dan berbagai aliansi. Ormas Islam terbesar Nahdatul Ulama misalnya, menolak omnibus law tapi memilih dituntaskan di MK. Sedang Muhammadiyah yang sejak wacana awal hingga saat tulisan ini dibuat menolak omnibus law dan tidak berkeinginan melanjutkan perjuangan ke MK.

Ada juga Aliansi Nasional Anti Komunis, terdiri dari berbagai ormas Islam, yang salah satunya adalah Persatuan Alumni 212 (PA 212), yang dulu getol berunjuk rasa menentang Basuki Tjahja Purnama saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, mereka kompak menolak omnibus law. Termasuk ormas vigilante terbesar, Front Pembela Islam (FPI). FPI sendiri selain menyuplai massa yang cukup besar juga tersebar di beberapa daerah, isi tuntutan mereka tidak hanya menolak omnibus law tapi juga menggembar-gemborkan kabar bahwa imam besarnya Habib Rizieq Syihab akan pulang ke Indonesia kemudian memimpin sebuah revolusi (watak aslinya: layangkan sebuah ancaman yang terkadang dilebih-lebihkan), dan tidak ada kejelasan apakah mereka setuju dengan wacana penyelesaian di MK.

Ada juga kelompok penolak omnibus law datang dari organisasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), organisasi yang didirikan dan diisi oleh macam-macam warna seperti: purnawirawan TNI; mantan Jendral TNI; politisi; peneliti; dan berbagai tokoh. Dalam beberapa kesempatan, statement-statement mereka banyak mengatakan bahwa mereka adalah kumpulan oposisi. Namun yang menyeruak terlihat hanya sebagai kumpulan oportunis, barisan sakit hati, dan ingin meraih simpati politik dengan memanfaatkan situasi krisis multidimensi (pandemi, resesi ekonomi, dan menunggangi protes kebijakan-kebijakan yang tak pro rakyat miskin). Beberapa petinggi KAMI pasca aksi 12,13/10/2020 akhirnya ditangkap karena dituduh sebagai dalang kerusuhan. Yang unik pasca penangkapan tersebut ialah sikap Gatot Nurmantyo (tokoh penting KAMI), Gatot menyampaikan beberapa pandangannya di beberapa media, mengatakan bahwa omnibus law ini sejatinya baik, karena membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia. Sikap penolakan omnibus law yang berubah-ubah Gatot seolah menimbulkan pertanyaaan besar, ada kemungkinan pernyataan tersebut keluar akibat desakan politik yang fokus mengkriminalisasi organisasi KAMI. Gatot sebagai mantan Jendral TNI itu, terlihat mengkerut, ketika arah politik Jokowi terkesan menyasar manuvernya.  

Dan yang terakhir ialah sebuah aliansi besar, prodemokrasi, terdiri dari sangat beragam kelompok, individu, dan ideologi, mereka menolak omnibus law, terus melanjutkan perjuangan jalanan, dan tidak berharap banyak untuk bisa diselesaikan di lembaga hukum tertinggi MK.

Yang menarik perhatian dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut ialah peran-peran dan kepentingan dari berbagai aliansi, ormas agama, dan vigilante. Terkhusus penyebutan yang terakhir ini kiranya bisa menjadi perhatian mendalam, kedepannya tentu kita tak ingin budaya kekerasan dilanggengkan akibat perbedaan pandangan. Karena sudah begitu seringnya identitas agama-etnisitas-militerisme ikut dimobilisasi terlibat langsung dalam pusaran kekerasan, sehingga membuat trauma bangsa seakan tak pernah selesai.

Jejak vigilante di Indonesia sendiri telah direkam baik oleh Ian Douglas Wilson dalam bukunya, “Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan Di Indonesia Pasca Orde Baru.” Sebagai sebuah rezim kekerasan dan koersi, orba Soeharto menciptakan patronase yang kuat untuk meraih dukungan politik dari klien dan memfasilitasi kepentingan-kepentingan elite rezim. Jika ada yang bekerja diluar itu maka tak segan-segan untuk dimusnahkan atau dikriminalkan. Soeharto, sebagaimana Wilson tegaskan, telah menjadi seorang don mafia par excellence, mengendalikan bawahan-bawahannya melalui persebaran patronase dan mengelola konflik antar mereka dengan gaya yang khas Machiavelian.

Bahkan sebelum masa orba, vigilante sudah meninggalkan aroma sejarah amis dan itu masih melibatkan peran Soeharto. Seolah jejaknya terus-menerus hadir dalam sejarah. Sejak pertumpahan darah 1965, Jendral Soeharto merupakan sosok yang sangat penting, kalau dalam bahasanya Wilson “memulihkan ketertiban” dari kekacauaan yang turut ia atur sendiri untuk menguatkan klaim-klaim awal legitimasi orba. Untuk membunuh dan mengubur peran Partai Komunis Indonesia dan para simpatisannya, Soeharto turut menfasilitasi, memobilisasi, dan melegitimasi ormas Islam untuk melakukan kekerasan dan pembantaian. Saat itu, sebagian besar pembantaian dijalankan oleh milisi-milisi anti komunis, anggota-anggota geng dan vigilante seperti organisasi pemuda Ansor dari Nahdatul Ulama dan Pemuda Pancasila, yang digerakan dan diberikan pelatihan serta sokongan logistik oleh militer (Fealy dan McGregor 2010).

Pasca orba, kejatuhan Soeharto 1998 telah mengubah tatanan rezim sentralistik menjadi pecahan-pecahan otonomi daerah. Hal ini mempengaruhi pengusaha kekerasan dari paduan antara ideologi dan simbolisme semata―kemudian berkembang turut melahirkan corak vigilante berbasis identitas teritorial yang bersifat komunal maupun subnasional. Pada akhirnya, kelompok kepentingan predatoris berkelindan dengan klaim-klaim hak dari berbagai kelompok etnis dan komunal serta agenda-agenda “moral” kebangkitan Islam Politik (Wilson 2015).

Keberadaan dan eksistensi vigilante tak pernah statis, dia terus mengalami perubahan dan dinamika sesuai dengan kebutuhan dan keuntungan bagi dirinya sendiri. Perannya juga tak melulu dilihat dari kebengisan, reaksioner, razia kemaksiatan (miras, prostitusi, judi dll) dan mementingkan diri sendiri. Akan tetapi dirinya sendiri juga mengalami kontradiksi. Mereka, sebagaimana kita bisa lihat pada FPI di Ibukota hari ini, yang rantai komandonya telah terintegrasi di kota-kota lainya, juga ikut menyeruakan ketidakadilan kepada negara, bersolidaritas dengan kaum miskin, buruh dan mengkritisi kebijakan-kebijakan negara (menolak omnibus Law). Peneliti seperti Brotherton dan Barrios (2004,2007) sudah memberikan konseptual berharga untuk memahami bagaimana geng preman, kelompok-kelompok predatoris dan pada saat yang sama menjadi wahana bagi perlawanan sosial dan kultural kelas bawah perkotaan: “agen perubahan sekaligus mahluk/kelompok sosial yang adaptif di dunia dengan hubungan sosial yang timpang” (Brotherton dan Barrios 2004: 38).

Lantas bagaimana dengan rezim Jokowi? Dalam kondisi pandemi yang belum usai, setidaknya ada dua produk hukum yang kemudian akan menjadi kejanggalan: omnibus law dan Pam Swakarsa. Seolah telah memetakan potensi demonstrasi besar-besaran di tengah pandemi, Kapolri Idham Aziz mengeluarkan peraturan untuk menghidupkan kembali Pam Swakarsa (pasukan pengamanan swadaya diprakarsai masyarakat). Meski telah mengklarifikasi bahwa Pam Swakarsa hari ini tidak ada hubunganya dengan Pam Swakarsa zaman orba, karena Pam Swakarsa hari ini dibuat untuk menunjang pengamanan dalam pengendalian pandemi. Akan tetapi mereka yang terdiri baik dari satpam, hansip, geng-geng, preman, ormas-ormas dan kelompok masyarakat lainya masih turut serta dilibatkan. Bukan tidak mungkin mereka bisa juga dipakai untuk mengamankan dan menghalau tuntutan demonstrasi pro-demokrasi.

Soeharto bisa saja lengser, tetapi warisan kekerasannya seolah masih bertengger. Karpet merah yang digelar oleh Jokowi bagi jendral-jendral orba menuntun mereka masuk ke istana mengisi posisi-posisi strategis di struktur pemerintahan. Selain masih menyandang sebagai pelanggar HAM berat masa lalu, mereka (alumnus orba) setidaknya masih punya komunikasi, juga akses, terhadap kelompok vigilante. Sebagaimana pilpres 2018, ketika FPI dan ormas-ormas Islam lainnya masing-masing mengambil posisi untuk mendukung kedua Paslon, yang kini dua kandidat itu telah menang, dan sudah menjadi satu, duduk di struktur pemerintahan oligarki.

Seperti yang telah disebut sebelumnya, kelompok vigilante bersifat dinamis, semua bergantung pada kondisi, kesempatan, dan melihat sebuah keuntungan. Adapun keberpihakan dan solidaritas telah menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka. Belum ada yang bisa memastikan, apakah para jendral-jendral orba di lingkaran Jokowi masih bisa terus-menerus mengendalikan, mengandalkan dan menggunakan kelompok vigilante. Akan tetapi, memakainya sebagai taktik politik gerakan sosial jalanan juga bukan hal yang mustahil. 

Sejarah kekerasan negeri ini telah banyak menelan korban dan terarsipkan dengan baik dalam jurnal penelitian maupun buku-buku. Baik peristiwa reformasi 1998 hingga tragedi pembunuhan masal 1965―kiranya sudah cukup menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini untuk bisa merefleksikan kembali pentingnya memperjuangkan derajat kemanusiaan di atas kepentingan politik.

Kita semua harus mengantisipasi kemungkinan terburuk, karena kelindan antara identitas dan kekerasan merupakan sesuatu yang sangat mencolok. Amartya Sen telah menguliti akar masalah ini dengan riset panjang dan menohok. Bahwa kepercayaan atas identitas ketunggalan adalah penyebab utama bagaimana individu, kelompok, begitu mudahnya melakukan tindakan kekerasan.

Sejauh ini masyarakat kita masih banyak terlarut dalam hegemoni destruktif. Terutama saat agama, demokrasi, dan sosialisme, seringkali dibenturkan dan saling dipertentangkan. Kondisi suhu politik saat ini menjadi momentum penting bagi seonggok identitas dan ideologi diuji. Ketika ormas-ormas agama berbondong-bondong ikut membela hak buruh, menolak regulasi yang tak berwawasan lingkungan dan mengutuk prosedural demokrasi tertutup, seperti timbul senja harapan membasuh pertengkaran antara identitas agama-sosialisme. Akan tetapi karena politik itu tak pernah pakem, selalu berubah bentuk, hal ini bukanlah menjadi kesimpulan mutlak bahwa ormas agama penolak omnibus law sudah bisa dikatakan telah kawin dengan pembebasan, sebagaimana teologi pembebasan yang terjadi pada institusi agama di Amerika Latin.  

Sejak dulu hingga kini, egalitarian, kemajemukan, dan toleransi, seperti barang ghaib yang harganya mahal. Keringat, teriak, otot dan pikiran seolah tak cukup memperjuangkannya. Hal yang paling miris melingkupi lainnya ialah ketika semuanya masih harus ditebus dengan darah dan korban.

Diri yang enggan berasosiasi pada kebenaran lainnya, menutup diri pada sebuah keindahan lainnya, ketidakmampuan menerima kesahajaan di luar pandangannya, berhenti dengan keyakinan kebenaran dimilikinya, adalah jiwa-jiwa yang keropos dan rentan sebagai manusia beradab.

Semuanya hanya akan bisa diperbaiki ketika kita bisa membuka diri terhadap yang liyan sekaligus menutup diri terhadap mitos ketunggalan identitas. Kita dituntut menjadi individu yang tak pernah lelah mencari identitasnya namun tanpa pretensi kekelan. Nistzche menyebutnya dengan Übermensch, menjadi manusia tuan, sang aristrokrat radikal. Atau, sebagaimana A Setyo Wibowo tambahkan:

Identitas hanyalah “identifikasi atas yang tak identik” sehingga ia selalu siap menyerakkan dirinya karena berani untuk mencari identitas baru lagi yang karekternya juga tak pernah pejal (Basis, no 05-06, 2019).

STM dan para pelajar yang kritis

Belakangan kita juga dikejutkan dengan fenomena anak STM terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi, baik itu aksi #reformasidikorupsi yang menolak revisi UU KPK maupun aksi menolak omnibus law Cipta Kerja. Hampir setiap keterlibatan mereka dijaga ketat, diawasi, dicurigai, hingga dilakukan penangkapan serampangan.

Di beberapa dokumentasi foto maupun vidio yang viral di media sosial, pelajar dan polisi beberapa kali terlibat bentrokan hebat. Saat suasana keos terjadi akibat represi dan intimidasi aparat, para pelajar melempar batu ke arah polisi kemudian polisi membalas dengan tembakan gas air mata dan hujaman pentungan. Beberapa penangkapan terhadap para pelajar pun tak terbendung, dilatarbelakangi karena dugaan, aksi merusak beberapa fasilitas, seperti; rubuhnya pagar kantor DPR, vandalisme, terbakarnya café, halte, dan kekerasan lainnya yang kesemuanya dijuluki dengan aksi anarkis.

Polisi terlihat kewalahan menanggulangi para pelajar/anak STM. Anak-anak itu memiliki nyali dan gerakan yang gesit. Akhirnya, senjata terakhir untuk meredamkanya ialah menganggapnya sebagai perusuh maupun provokator. Meski tidak semua, terkadang anak-anak itu kompak mengenakan baju berwarna hitam saat mengikuti aksi, kemudian distempel oleh aparat sebagai kelompok anarko.

Stereotip yang terakhir ini agak sedikit mengganggu. Sebab anarko di sini tidak dipahami lagi dari akar ideologinya yang anti otoritarianisme, melainkan dituduh sebagai pengagum aksi kekerasan yang seringkali disesatkan dengan sebutan tindakan anarkis.

Seperti tak ingin kalah, beberapa masyarakat juga ikut mengomentari fenomena ini dengan kutukan yang tajam. Anak-anak STM yang ikut aksi itu dicibir dengan umpatan brutal dan keras, dituduh sebagai pelajar yang tak memiliki masa depan pasti, ugal-ugallan, dan suka tawuran.

Seolah kita lupa bahwa perjuangan revolusi kemerdekaan 1945 digerakan sebagian besarnya oleh anak muda. Seolah kita tak ingat, bahwa yang menculik Soekarno dan Bung Hatta untuk lekas membacakan teks Proklamasi adalah karena tekanan para pelajar dan pemuda, antara lain perkumpulan “Menteng 31” seperti Sukarni, Wikana, Aidit, Chaerul Saleh dll.

“Demonstrasi pelajar itu tak etis dan kebanyakan berujung kekerasan.” Pandangan demikian sudah pasti terbantahkan jika kita beranjak ke Swedia. Sejak 2018, seorang anak berumur 15 tahun duduk sendirian di luar parlemen Swedia dengan sebuah karton bertuliskan: “unjuk rasa sekolah untuk perubahan iklim.” Dia adalah Greta Thunberg, memutuskan bolos sekolah tiap hari Jumat, memilih rutin turun ke jalan, karena betapa bebalnya hati para penguasa mengatasi krisis iklim yang begitu nyata ada di depan mata.

Radikalisme Greta menjadi inspirasi bagi anak-anak pelajar bukan hanya di Swedia, melainkan juga di beberapa negara Eropa dan belahan dunia lainnya. Mereka kini rutin turun ke jalanan, melakukan demonstrasi damai, menuntut para pemimpin dunia mengatasi krisis iklim.

Di tempat lain seperti Pakistan, tindakan kritis gadis 15 tahun Malala Yousafzai tidak mudah. Dia memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan, dan harus dibayarnya dengan selongsong peluru bersarang di kepala dan lehernya. Taliban gerah dengan aktivisme Malala, tapi peluru Taliban belum direstui tuhan untuk membunuh kritik Malala. Ini adalah daftar ke sekian bagaimana seorang anak-anak pelajar tidak bisa dipandang sebelah mata, karena mereka sesungguhnya berperan, punya kesadaran dan keberpihakan.

Kekerasan anak-anak STM dalam demonstrasi adalah satu hal yang musti ditanggulangi. Akan tetapi, peran, kesadaran dan keberpihakan mereka adalah lain hal yang harus kita hormati. Kita mungkin harus angkat topi pada mereka sebagai hadiah yang pantas, tapi itu tak cukup, lebih dari itu, karena merekalah generasi berikutnya yang menikmati baik buruknya produk politik perundang-undangan.

Lantas mengapa tidak memilih aksi damai? Ini adalah sebuah pertanyaan penting sekaligus menyerupai boomerang. Hampir 13 tahun aksi diam kamisan yang menggunakan payung hitam telah dilakukan di beberapa kota besar. Berderet tuntutan yang mereka jejerkan, mulai dari penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu sampai dengan sisipan tuntutan pelanggaran HAM saat ini. Namun tuntutan itu tak sedikutpun menjadi pertimbangan negara untuk berniat menuntaskannya.

Kekerasan penanganan dalam bentuk represifitas selain tidak berperikemanusiaan juga tidak akan bisa menghentikan demonstran untuk terus menyuarakan tuntutan. Begitupun sebaliknya, demonstrasi dengan taktik kekerasan bukanlah sebuah jaminan tuntutan mulus didengarkan.

Baru-baru ini pihak kepolisian menegaskan, bagi pelajar yang mengikuti demonstrasi akan dicatatkan dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Tentunya dengan maskud mempersulit syarat mencari pekerjaan. Sangat disayangkan, tindakan serba tidak hati-hati dalam menyikapi aksi pelajar ini bukan hanya gegabah dan salah, tapi juga minim spirit demokrasi.

Justru statement sejuk datang dari perwakilan Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk anak-anak (UNICEF), Debora Comini, dalam kesempatanya mengomentari aksi pelajar menolak UU Ciptakerja, beliau mengatakan, “kita harus tetap menegakkan kepentingan perlindungan terhadap anak-anak sepanjang waktu, anak-anak dan pemuda di Indonesia berhak menyampaikan pendapat dan terlibat dalam dialog terkait permasalahan yang akan berdampak terhadap mereka, dan kita harus memastikan mereka mendapatkan waktu dan dukungan jika berhadapan dengan hukum.” (CNN, Rabu 14/10/2020)

Simpati dan antipati menjadi hal yang natural terjadi ketika adanya sebuah aksi. Dengan dalih apapun, kita tidak akan pernah setuju dengan aksi-aksi kekerasan. Akan tetapi pernahkah kita berpikir, adakah aksi kekerasan hakiki yang mengesampingkan imaji perdamaian?


Ilustrator Hisam

1 komentar untuk “Polarisasi Demonstrasi: Antara Kekerasan dan Perdamaian”

  1. Pingback: car detailing

Komentar ditutup.

Scroll to Top