Reclaim Your Heart (Kembalilah pada Hatimu) -Yasmin Mogahed
Li’Annaka Allah (Karena Engkau adalah Allah) -Ali Bin Jabir Al Faifi
Kiai Ujang di Negeri Kanguru -Nadirsyah Hosen
Ini adalah tiga buku yang menyerbu pembaca Muslim hari-hari ini. Sampulnya dipenuhi dengan ungkapan best seller. Populer, ringan, dan meyentuh. Pujian dikatakan di halaman mukanya. Memuat refleksi atas Iman di tengah kehidupan yang global. Diajak pembaca untuk memahami satu demi satu keutuhan Iman yang dipukul oleh hidup yang kian kompetitif. Hidup yang terus menerus ditekan untuk menjadi yang unggul, dipacu oleh perolehan sebanyak-banyaknya, dan dituntut untuk menjadi yang terbaik. Di sini peran Iman bukan hanya penyangga, tapi Iman pula satu-satunya bekal utama.
Yasmin Mogahed, seorang perempuan yang mendapat master di bidang psikologi Universitas Wisconsin-Madison Amerika. Sebagai penulis, pembicara, dan hidup dalam identitas seorang Muslim, dirinya berusaha untuk mengajak orang beriman memahami hidup dengan semangat ‘penerimaan’ pada diri sendiri. Dalam istilah Islam Ridha. Tantangan manusia modern ditelusurinya satu demi satu: rasa keterikatan, memupuk rasa cinta, memahami apa itu derita, merawat hubungan dengan Tuhan, hingga mengenal puisi.
Iman musti sabar menerima kenyataan perih. Di antaranya adalah kehilangan. Rasa kehilangan mudah hinggap dalam kehidupan masyarakat modern. Bentuk masyarakat yang memuja kepemilikan begitu rupa: keluarga hingga harta. Secara lembut, Yasmin menyarankan agar keadaan batin tak musti bergantung pada sesuatu yang berubah dan bersifat sementara. Itu yang mengantar pada rasa gelisah, labil, dan penuh gejolak.
Hati diajak untuk pasrah. Tulisnya, “Ada sesuatu yang menakjubkan tentang kehidupan ini; atribut duniawi yang sama, yang menyebabkan kita terluka, juga memberi kita kelegaan: tak ada yang abadi. Penderitaan kita akan lenyap. Tawa takkan bertahan selamanya, tapi begitu pula dengan air mata. Lewat lensa Al-Qur’an, ada banyak ayat disitir untuk memandang hidup dengan prasangka positif pada Tuhan. Diajak pembaca untuk memahami kalau tak ada yang hilang dalam hidup ini karena semua yang di semesta itu selalu berbuah anugerah.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah kecuali Allah menggantinya dengan yang lebih baik bagimu.” Allah tak pernah membuat kecewa hamba-Nya dan rahamat-Nya tak terbatas. Maka, hidup di dunia selalu dipandang sebagai sementara, sia-sia, dan permainan belaka. Jangan sampai terseret kita dalam anugerah tapi kehilangan rasa cinta pada pemberi Anugerah. Allah selalu memberi yang terbaik untuk hidup manusia.
Posisi Allah yang utama, penting, dan punya peran dalam seluruh hidup manusia. Itulah topik yang diutamakan dalam buku yang menjadi best seller di Timur Tengah. Li Annaka Allah (Karena Engkau adalah Allah) ditulis oleh Ali Bin Jabir Al Faifi, seorang pengajar di departemen Syariah dan Bahasa Arab di Muhalah Arab Saudi. Kepiawaiannya dalam bahasa Arab membuat argumennya terasa kokoh, hidup, dan jelas. Mirip dengan Aid Al Qarni yang dulu menulis buku populer La Tahzan.
Melalui bahasa yang ringan, mudah, dan tanpa argumentasi berbelit, buku ini seperti kumpulan ceramah. Disingkaplah semua Asma Allah lalu diberitahukan pada pembaca betapa hidup yang dinikmati tak dapat dilepaskan dari peran Allah. Bahkan ketika kondisi manusia berada dalam jurang bahaya atau tekanan yang tak dapat dielakkan, pasti manusia memanggil nama Allah. Allah muncul selalu dalam bentuk panggilan darurat yang manusia secara alamiah sebenarnya mengenalNya.
Salah satu nama agung Allah adalah ash-Shamad: zat yang menjadi sandaran dan tujuan para makhluk untuk mendapatkan segala kebutuhan. Kuasa-Nya memenuhi semua hajat manusia sehingga Allah SWT merupakan al-Shamad (tempat bersandar) yang kuat, yang tak ada tanding, dan manusia dapat mengandalkannya. Keunggulan Al Faifi adalah bahasa, yang dalam buku ini diuraikan dengan cara mudah: tiap asma Allah diuraikan asal muasal kata dan betapa artinya bisa membawa kita pada keyakinan mutlak atas tesis yang diuraikannya.
Penulisanya juga unik karena membawa kita pada kontradiksi kehidupan hari ini. Selalu gampang tergantung pada orang, sistem, dan lingkungan. Bayangkan kalau orang selalu punya kelemahan, mustahil mampu memenuhi semua kebutuhan kita dan pastinya tak dapat jadi sandaran terus-terusan. Sedangkan Allah memiliki kasih sayang tak terbatas, mampu melindungi semua makhluknya dan menolong siapa saja yang meminta. Berbagai pengalaman disodorkan untuk mengatakan bahwa memuji, meminta tolong, dan berharap bantuan Allah tak pernah sia-sia.
Hampir sama dengan buku pertama tapi lebih meyakinkan lagi di buku kedua. Kalau manusia sebenarnya lemah, tak berdaya, dan kurang mampu apa-apa kecuali karena Allah. Hanya Allah satu-satunya kuasa yang bisa memenuhi semua hajat manusia. Cukup dengan meyakini itu lalu menyatakannya secara terbuka, maka semua kebutuhan hidup bisa tercukupi. Allah tampil sebagai yang utama karena kuasa-Nya yang tak ada tandingnya dan konyol kalau manusia sampai tak mengetahui semua itu.
Berbeda dengan buku Kang Ujang yang ditulis oleh akademisi yang dulu pernah jadi santri. Nadirsyah Hosen yang kini jadi pengajar di Senior Monash Law School, Monash University: mengawali kisah tentang dirinya dalam personifikasi sebagai Kang Ujang. Pintar, matang, dan fleksibel. Melalui cerita yang sederhana, mulailah dirinya mengembangkan sikap orang beriman yang tak mudah memberi fatwa bahkan memberi apresiasi pada yang berbeda agama. Kekuatan buku ini adalah metode cerita yang ditawarkannya: ujang bertemu dengan teman lalu mereka bicara soal Islam dari sudut manapun.
Itu sebabnya buku ini meyentuh soal-soal populer: seperti syariah, kebolehan untuk mengucapkan Natal, hingga bagaimana memaknai musibah. Islam digambarkan dengan bersahaja, menyenangkan, dan membuat tentram. Kecakapan sebagai ahli hukum membuat buku ini mahir bicara tentang bagaimana mahzab dalam Islam penuh dengan keragaman pandangan. Misalnya dalam sholat jumat: sebagian katakan itu fardhu kifayah sedang lainya mengatakan fardhu ain.
Setidaknya buku ini melihat ajaran Islam yang fleksibel, adaptatif, dan tidak membebani. Terlebih, pengalaman di Australia telah membuat buku ini lebih meyentuh hal-hal keseharian dengan perbedaan hidup di Indonesia. Ditambah kemasan layout yang riang membuat buku ini lebih memikat secara tata letak dibanding dua buku sebelumnya. Hanya saja, yang membedakan buku ini dengan kedua buku di atas adalah dihadirkannya perbedaan pandangan atas soal apa saja yang membuat kita percaya kalau Islam itu tidak kaku dan beku.
Lantas, apa yang membuat ketiga buku ini punya pesan yang sama? Kecemasan atas arus kehidupan modern dan mencoba mengundang agama untuk memberikan kekuatan terbaiknya. Terutama Islam yang memiliki muatan ajaran yang dapat melindungi, membekali, serta membentuk identitas para pemeluknya. Diawali dengan perubahan cara pandang kemudian mulai beradaptasi dengan tatanan untuk kemudian meneguhkan Islam sebagai jalan satu-satunya. Krisis yang dialami kebanyakan adalah eksistensi: manusia yang mulai terkikis harapannya, mudah kecewa dan gampang tergantung pada kehidupan sehari-hari. Iman mudah sekali ditanggalkan dan mengundangnya butuh pemahaman yang segar.
Ketiganya mengabaikan tatanan sosial yang membentuk ummat hari ini. Cengkraman kehidupan modern bukan hanya membuat orang kehilangan kebijakan tapi juga membuat dirinya kecanduan agama. Agama dipaksa untuk melayani kepentingan sempit dan agama pula dimanfaatkan untuk perseteruan. Semua ini tidak bermula dari kesalahan pemahaman, tapi situasi sosial yang membuat orang ingin bertahan dengan lingkungannya. Situasi ekstrem pembangunan yang membawa efek kesenjangan sosial yang menganga.
Orang mudah kehilangan harapan bukan karena keterikatannya pada dunia, tapi miskinnya pilihan hidup. Pengangguran yang meraja lela, kriminalitas yang jadi buahnya, dan terorisme sebagian ungkapannya. Semua itu bukan karena salah amalan, tapi kesalahan kita yang tak berani melihat kenyataan. Agama bukan ajaran yang adapatif saja, tapi juga suluh bagi kehidupan manusia modern. Bukan hanya manusia lebih mampu sabar, menerima keadaan, dan iklhas, tapi juga perjuangan dan pergulatan.
Inilah nampaknya yang hilang dalam ketiga buku ini. Manusia dengan segala kebebasannya tak berdiri sendiri. Terikat dirinya oleh lingkungan, tatanan, dan sistem yang melingkari hidupnya sehari-hari. Dicemari oleh sistem yang korup, dilumuri oleh berita yang bohong di mana-mana, dan terus didesak untuk bersikap mendukung atau menolak. Setidaknya manusia tak bisa berdiam di atas tatanan palsu semacam ini. Agama punya peran militan untuk ‘berpihak’ dan ‘berkorban’.
Maka agama itu bukan candu yang menyenangkan, tapi juga bukan benih pemberontakan. Agama itu tak mengubah diri sendiri tapi juga lingkungan sosial tempat umatnya berada. Tiga penulis di atas adalah cerminan dari lingkungan yang aman, tertib, dan makmur. Ketiganya adalah dosen di perguruan tinggi yang mapan dengan kehidupan akademik yang berjalan baik. Mereka mewakili sebuah lingkungan yang bersahaja dan mencoba mengungkapkan apa yang dijalani dan dialaminya.
Sebuah agama yang indah, damai, dan bisa memberi keselamatan dalam hidup serta karirnya. Sebuah agama yang tentram, tak bergolak, dan agama yang membawa kegelisahan. Agama jadi keyakinan pasti seperti matematika. Sebuah keyakinan yang kini coba dipasarkan, diterima, dan bisa jadi sedang digemari belakangan ini.(*)
Komentar ditutup.